Navigation Pages

bintang

Senin, 23 Januari 2017

Ulama Nusantara




1.      Syekh Abdush Shamad Al-Falimbani
a.      Kelahiran
Nama lengkap Abd al-Shamad b. Abd Allah al-Jawi al-Palimbani. Lahir tahun 1730 M di Palembang. Ayahnya adalah Syekh Abdul Wahid bin Syekh Ahmad al-Mahdan dari Yaman. Abdus Samad al-Palimbani adalah seorang tokoh ulama Indonesia. Menurut sumber-sumber melayu, nama lengkap Al-Palimbani adalah 'Abd al-Shamad bin 'Abd Allah al-Jawi al-Palimbani, tetapi sumber-sumber arab menamakannya Sayyid 'Abd al-Shamad bin 'Abd al-Rahman al-Jawi.
Al-Palimbani lahir sekitar tahun 1116H/1704M di Palembang. Ayahnya adalah seorang ulama, yang pernah menjadi Qadhi Kesultanan Kedah, sementara Ibunya adalah seorang putri dari negeri Palembang, yang bernama Radin Ranti.
Al-Palimbani dikenal sebagai ulama Melayu-Indonesia, yang paling menonjol di dalam jaringan ulama abad ke-18M. Al-Palimbani banyak melewatkan masa hidupnya, sebagai penulis dan tenaga pengajar di Haramain (Mekah-Madinah). Beliau diperkirakan wafat pada tahun 1203H/1789M.
b.      Pendidikan
Pendidikan yang diperoleh oleh al-Palimbani berasal dari ayahnya dan yang paling penting beliau juga memperoleh pendidikan dari kota Haramain. Bisa dilihat dari guru-gurunya yaitu Muhammad al-Jawhuari, adalah seorang putra dari muhandist Mesir terkemuka yaitu Ahad bin al-Hasan ‘Abdul Karim dan ‘Atha Allah (b. Ahmad) al-Azhar al-Masri al-Makki seorang muhandist ternama.
c.       Karya
1)      Zuhrat Al-Murid fi Bayan Kalimat Al-Tawhid, karya ini menggunakan bahasa melayu, membahas tentang logika (manthiq) dan teologi ('ushul al-din).
2)      Hidayat Al-Salikin fi Suluk Maslak Al-Muttaqin.
3)      Sayr Salikin ila 'Ibadah Rabb Al-'Alamin.
4)      Nashihah al-Muslim wa Tadzkirah al-Mukminin fi Fadha'il al-Jihad fi Sabil Allah wa Karimah al-Mujahidin fi Sabil Allah, karya ini menggunkan bahasa Arab, membahas keutamaan perang suci menurut Al-Qur'an dan Hadis.
5)      Tuhfah al-Ragibtn ft Sayan Haqfqah Iman al-Mukmin wa Ma Yafsiduhu fi Riddah al-Murtadin, di dalam kitab ini, ia memperingatkan pembaca agar tidak tersesat oleh berbagai paham yang menyimpang dari Islam, seperti ajaran tasawuf yang mengabaikan syariat dan paham wujudiyah muthid yang sedang marak pada waktu itu, dll.
2.      Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari
a.      Kelahiran
Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abdur Rahman al-Banjari (atau lebih dikenal dengan nama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari) lahir di Lok Gabang, 17 Maret 1710 – meninggal di Dalam Pagar, 3 Oktober 1812 pada umur 102 tahun atau 15 Shofar 1122 – 6 Syawwal 1227 H) adalah ulama fiqih mazhab Syafi'i yang berasal dari kota Martapura di Tanah Banjar (Kesultanan Banjar), Kalimantan Selatan.
b.      Pendidikan
Syekh Muhammad Arsyad mendapatkan pendidikan dasar agamanya di desanya sendiri, dari ayahnya dan guru-guru setempat. Ketika dewasa beliau juga menuntut ilmu di kota Haramain. Guru-guru beliau adalah al-Samani, al-Damanhuri, Sulaiman al-Kurdi, dan Atha’Allah al-Masri. Beliau juga belajar kepada Ibrahim al-Rais al-Zamzami, beliau mempelajari Astronomi.
c.       Karya
Kitab karya Syekh Muhammad Arsyad yang paling terkenal ialah Kitab Sabilal Muhtadin, atau selengkapnya adalah Kitab Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin, yang artinya dalam terjemahan bebas adalah "Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk untuk mendalami urusan-urusan agama". Syekh Muhammad Arsyad telah menulis untuk keperluan pengajaran serta pendidikan, beberapa kitab serta risalah lainnya, di antaranya ialah:
1)      Kitab Ushuluddin yang biasa disebut Kitab Sifat Duapuluh.
2)      Kitab Tuhfatur Raghibin, yaitu kitab yang membahas soal-soal itikad serta perbuatan yang sesat.
3)      Kitab Nuqtatul Ajlan, yaitu kitab tentang wanita serta tertib suami-isteri.
4)      Kitabul Fara-idl, hukum pembagian warisan.
Dari beberapa risalahnya dan beberapa pelajaran penting yang langsung diajarkannya, oleh murid-muridnya kemudian dihimpun dan menjadi semacam Kitab Hukum Syarat, yaitu tentang syarat syahadat, sembahyang, bersuci, puasa dan yang berhubungan dengan itu disebut Kitab Parukunan. Sedangkan mengenai bidang Tasawuf, ia juga menuliskan pikiran-pikirannya dalam Kitab Kanzul-Makrifah.
3.      Syekh Ahmad Khatib Minangkabau
a.       Kelahiran
Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi, lahir di Koto Tuo - Balai Gurah, IV Angkek Candung, Agam, Sumatera Barat, pada hari Senin 6 Dzulhijjah 1276 H (1860 M) dan wafat di Mekkah hari Senin 8 Jumadil Awal 1334 H (1916 M).
b.      Pendidikan
Ketika masih di kampung kelahirannya, Ahmad kecil sempat mengenyam pendidikan formal, yaitu pendidikan dasar dan berlanjut ke Sekolah Raja atau Kweek School yang tamat tahun 1871 M.
Di samping belajar di pendidikan formal yang dikelola Belanda itu, Ahmad kecil juga mempelajari mabadi’ (dasar-dasar) ilmu agama dari Syaikh ‘Abdul Lathif, sang ayah. Dari sang ayah pula, Ahmad kecil menghafal Al Quran dan berhasil menghafalkan beberapa juz.
Pada tahun 1287 H, Ahmad kecil diajak oleh sang ayah, ‘Abdul Lathif, ke Tanah Suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah rangkaian ibadah haji selesai ditunaikan, ‘Abdullah kembali ke Sumatera Barat sementara Ahmad tetap tinggal di Mekah untuk menyelesaikan hafalan Al Qurannya dan menuntut ilmu dari para ulama-ulama Mekah terutama yang mengajar di Masjid al-Haram.
Di antara guru-guru Syaikh Ahmad Khatib di Mekah adalah:
1)      Sayyid ‘Umar bin Muhammad bin Mahmud Syatha Al Makki Asy Syafi’I (1259-1330 H).
2)      Sayyid ‘Utsman bin Muhammad Syatha Al Makki Asy Syafi’i (1263-1295 H).
3)      Sayyid Bakri bin Muhammad Zainul ‘Abidin Syatha Ad Dimyathi Al Makki Asy Syafi’i (1266-1310 H) –penulis I’anatuth Thalibin.
Dalam Ensiklopedi Ulama Nusantara dan Cahaya dan Perajut Persatuan mencatat beberapa ulama lain sebagai guru Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah, yaitu Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (wafat 1304) –mufti Madzhab Syafi’i di mekkah; Yahya Al Qalyubi; dan Muhammad Shalih Al Kurdi.
Mengenai bagaimana semangat Syaikhul Ahmad Khatib dalam thalabul ‘ilmi, menurut penuturan seorang ulama yang sezaman dengan beliau, yaitu Syaikh ‘Umar ‘Abdul Jabbar rahimahullah dalam Siyar wa Tarajim, “…Beliau adalah santri teladan dalam semangat, kesungguhan, dan ketekunan dalam menuntut ilmu serta bermudzakarah malam dan siang dalam pelbagai disiplin ilmu. Karena semangat dan ketekunannya dalam muthala’ah dalam ilmu pasti seperti mathematic (ilmu hitung), aljabar, perbandingan, tehnik (handasah), haiat, pembagian waris, ilmu miqat, dan zij, beliau dapat menulis buku dalam disiplin ilmu-ilmu itu tanpa mempelajarinya dari guru (baca: otodidak).”
Ahmad juga gemar mempelajari ilmu-ilmu keduniaan yang mendukung ilmu diennya seperti ilmu pasti untuk membantu menghitung waris dan juga bahasa Inggris sampai betul-betul kokoh.
c.       Karyanya
Karya-karya tulis Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu karya-karya yang berbahasa Arab dan karya-karya yang berbahasa Melayu dengan tulisan Arab. Kebanyakan karya-karya itu mengangkat tema-tema kekinian terutama menjelaskan kemurnian Islam dan merobohkan kekeliruan tarekat, bid’ah, takhayul, khurafat, dan adat-adat yang bersebrangan dengan Al Quran & Sunnah. Karya-karya Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah dalam bahasa Arab:
1)      Hasyiyah An Nafahat ‘ala Syarhil Waraqat lil Mahalli.
2)      Al Jawahirun Naqiyyah fil A’malil Jaibiyyah.
3)      Ad Da’il Masmu’ ‘ala Man Yuwarritsul Ikhwah wa Auladil Akhwan Ma’a Wujudil Ushul wal Furu’.
4)      Raudhatul Hussab.
5)      Mu’inul Jaiz fi Tahqiq Ma’nal Jaiz.
6)      As Suyuf wal Khanajir ‘ala Riqab Man Yad’u lil Kafir, dll.
4.      Syekh Muhammad Nawawi Bantani
a.      Kelahiran
Tahun 1230-1314 H/1815-1897 M lahir dengan nama Abu Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi. Ulama besar ini hidup dalam tradisi keagamaan yang sangat kuat. Ulama yang lahir di Kampung Tanara, sebuah desa kecil di kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Propinsi Banten (Sekarang di Kampung Pesisir, desa Pedaleman Kecamatan Tanara depan Mesjid Jami’ Syaikh Nawawi Bantani) ini bernasab kepada keturunan Maulana Hasanuddin Putra Sunan Gunung Jati, Cirebon. Keturunan ke-12 dari Sultan Banten. Nasab beliau melalui jalur ini sampai kepada Baginda Nabi Muhammad saw. Melalui keturunan Maulana Hasanuddin yakni Pangeran Suniararas, yang makamnya hanya berjarak 500 meter dari bekas kediaman beliau di Tanara, nasab Ahlul Bait sampai ke Syaikh Nawawi. Ayah beliau seorang Ulama Banten, ‘Umar bin ‘Arabi, ibunya bernama Zubaedah.
b.      Pendidikan
Semenjak kecil beliau memang terkenal cerdas. Otaknya dengan mudah menyerap pelajaran yang telah diberikan ayahnya sejak umur 5 tahun. Pertanyaan-pertanyaan kritisnya sering membuat ayahnya bingung. Melihat potensi yang begitu besar pada putranya, pada usia 8 tahun sang ayah mengirimkannya ke berbagai pesantren di Jawa. Beliau mula-mula mendapat bimbingan langsung dari ayahnya, kemudian berguru kapada Kyai Sahal, Banten; setelah itu mengaji kepada Kyai Yusuf, Purwakarta.
Di usia beliau yang belum lagi mencapai 15 tahun, Syaikh Nawawi telah mengajar banyak orang. Sampai kemudian karena karamahnya yang telah mengkilap sebelia itu, beliau mencari tempat di pinggir pantai agar lebih leluasa mengajar murid-muridnya yang kian hari bertambah banyak. Pada usia 15 tahun beliau menunaikan haji dan berguru kepada sejumlah ulama terkenal di Mekah, seperti Syaikh Khatib al-Sambasi, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Abdul Hamid Daghestani, Syaikh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Ahmad Dimyati, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Muhammad Khatib Hambali, dan Syaikh Junaid Al-Betawi. Tapi guru yang paling berpengaruh adalah Syaikh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Junaid Al-Betawi dan Syaikh Ahmad Dimyati, ulama terkemuka di Mekah. Lewat ketiga Syaikh inilah karakter beliau terbentuk. Selain itu juga ada dua ulama lain yang berperan besar mengubah alam pikirannya, yaitu Syaikh Muhammad Khatib dan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, ulama besar di Madinah.
c.       Karyanya
Kepakaran beliau tidak diragukan lagi. Ulama asal Mesir, Syaikh 'Umar 'Abdul Jabbâr dalam kitabnya "al-Durûs min Mâdhi al-Ta’lîm wa Hadlirih bi al-Masjidil al-Harâm” (beberapa kajian masa lalu dan masa kini tentang Pendidikan Masa kini di Masjidil Haram) menulis bahwa Syaikh Nawawi sangat produktif menulis hingga karyanya mencapai seratus judul lebih, meliputi berbagai disiplin ilmu. Banyak pula karyanya yang berupa syarah atau komentar terhadap kitab-kitab klasik. Sebagian dari karya-karya Syaikh Nawawi di antaranya adalah sebagai berikut:
1)      al-Tsamâr al-Yâni’ah syarah al-Riyâdl al-Badî’ah.
2)      al-‘Aqd al-Tsamîn syarah Fath al-Mubîn.
3)      Sullam al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh.
4)      Baĥjah al-Wasâil syarah al-Risâlah al-Jâmi’ah bayn al-Usûl wa al-Fiqh wa al-Tasawwuf.
5)      al-Tausyîh/ Quwt al-Habîb al-Gharîb syarah Fath al-Qarîb al-mujib, dll.
5.     Walisongo(Di Jawa)
6. Kyai Haji Hasyim Asyari
a.      Riwayat Hidup
K. H. Hasyim Asy’ari lahir pada 24 Dzulqodah 1287H atau 14 Februari 1871M di Gedang. K.H.M Hasyim Asy’ari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Dari nasabnya K.H. Hasyim merupakan campuran dua darah atau trah, satunya darah biru, ningrat, priyayi, keraton, dan satunya darah putih, kalangan tokoh agama, kiai, santri.
Silsilah keturunannya, yaitu Brawijaya VI/Kartawijaya/Damarwulan, Lembu Peteng/Brrawijaya VII, Joko Tingkir, Pangeran Banawa, Muhammad, Ahmad, Abdul Jahar, Kyai Sichah, Kyai Usman (menantu Kyai Sichah), Halimah/Muhammad Asy’ari, Kyai Hasyim Asy’ari.
Dalam riwayat hidupnya bahwa Hasyim Asy’ari pernah kawin tujuh kali, di antaranya dengan Khadijah, putri Kyai Ya’qub Siwalan Panji, Nafisah, putri Kyai Ramli Kediri, Nyai Priangan di Mekah, Masrurah, saudara Kyai Ilyas Kapurejo Kediri, Nafiqah, putri Kyai Ilyas Sewulan Madiun.
Dari perkawinannya dengan Nyai Nafiqah, putri wedana dari Madiun, Hasyim memperoleh 10 anak, yaitu Hannah, Khairiyah, Aisyah, Ummu Abdul Haq, Abdul Wahid Hasyim, Abdul Hafiz, Abdul Karim Hasyim, Ubaidillah, Masrurah, dan Yusuf Hasyim. Sedangkan pada perkawinannya dengan Nyai Masrurah, Hasyim mempunyai empat anak, yaitu Abdul Kadir, Fatimah, Kahdijah, dan Ya’qub. Sekitar pukul 03.45 dini hari pada 26 Juli 1947 M/7 Ramadhan 1366 H, K.H. Hasyim Asy’ari berpulang ke rahmatullah.
b.      Pendidikan dan Pondok Pesantren Tebuireng
K.H. Hasyim Asy’ari terkenal memiliki keinginan yang kuat untuk mendapatkan ilmu seluas-luasnya dan sebanyak-banyaknya. Sejak kecil sampai usia 14 tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kiai Usman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Beliau termasuk anak yang mudah menyerap dan menghafal ilmu yang diberikan. Keistimewaan beliau dalam menyerap dan menghafal ilmu, menjadikannya diberi kesempatan oleh ayahnya pada usia masih remaja, 13-14 tahun, untuk membantu mengajar di pesantren.
Ketidakpuasan dan dahaga yang sangat terhadap ilmu, membuat beliau berkeinginan untuk mencari sumber pengetahuan lain, di pesantren ayahnya. Oleh sebab itu, semenjak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain, mulai menjadi santri di Pesantern Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), sampai Pesantren Trenggilis (Semarang). Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan ke Pesantren Kademengan, Bangkalan di bawah asuhan Kholil, Hasyim pindah lagi ke Pesantren Siwalan, Sidoarjo yang diasuh oleh Kiain Ya’qub. Kiai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Di sinilah, sepertinya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber pengetahuan Islam yang diinginkannya.
Di Pesantren Siwalan beliau mondok cukup lama, yaitu lima tahun. Rupanya Kiai Ya’qub kagum kepada pemuda yang cerdas dan alim itu, sehingga K.H. Hasyim Asy’ari bukan saja mendapatkan ilmu karena kerajinan dan kecerdasannya dalam menuntut ilmu di pondoknya, akan tetapi juga dijadikan menantu oleh Kiai Ya’qub.
K.H. Hasyim Asy’ari juga mendapatkan hadiah dari mertuanya berupa naik haji bersama istrinya di Mekah. Di sini pulalah beliau juga belajar kembali. Beliau belajar ilmu hadits pada lama kondang Syekh Ahmad Khatib Minangkabau.
Pada 1893 beliau berangkat haji untuk kedua kalinya. Kali ini bersama adiknya, Anis. Sejak saat itu beliau menetap di Mekah dan belajar kembali. Kali ini guru beliau adalah Syekh Mahfud Al-Tarmasy, putra Kiai Abdullah, pemimpin Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Dari Kiai Mahfud inilah beliau mendapat ijazah untuk mengajar hadits Shahih Al-Bukhari.
Selain berguru pada kedua guru tersebut, K.H. Hasyim Asy’ari juga berguru pada Syekh Ahmad Amin Al-Attar, Sayid Sultan b. Hasyim, Sayid Ahmad Zawawy, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said Yamani, Sayid Husein Al-Hasby, Sayid Bakar Syatha, Syekh Rahmatullah, Sayid Alawi b. Ahmad Al-Saqqaf, Sayid Abbas Maliky, Sayid Abdullah Al-Zawawy, Syekh Shaleh Bafadol, dan Syekh Sulthan Hasyim Daghastani.
Kembalinya ke Indonesia beliau mendirikan Pondok Pesantren di Tebuireng. Ketika menyampaikan maksudnya mendirikan pondok pesantren yang lokasinya di Tebuireng kepada teman-temannya, kebanyakan tidak menyetujui maksud beliau tersebut, bahkan tidak sedikit yang mencibir dan menertawakannya.
Tebuireng bukan hanya jauh dari kota Jombang, tetapi merupakan sebuah daerah yang sangat tidak aman. Masyarakat disana belum beragama dan adat istiadatnya sangat bertentangan dengan peri kemanusiaan, seperti merampok, berjudi, dan berzina. Kesimpulannya, menurut pendapat mereka, mendirikan pesantren di sana adalah perbuatan yang sia-sia dan membuang-buang waktu saja. Justru hal itu semakin mendorong semangatnya untuk segera mendirikan pesantren. Beliau berprinsip bahwa menyiarkan agama itu artinya memperbaiki moral masyarakat yang belum baik. Jika moral masyarakat sudah baik, apalagi yang meski diperbaiki.
K.H. Hasyim Asy’ari dengan pesantrennya bukan hanya mendidik masyarakat untuk memberantas kebodohan, tapi beliau juga mengubah masyarakat dari jurang kegelapan menuju sebuah mesyarakat yang sehat dan produktif, serta menjadi individu yang siap menjadi pemimpin dalam segala bidang.
Selain itu, beliau juga memperjuangkan pembaruan sistem pendidikan di pesantrennya dengan mengenalkan ilmu-ilmu sekuler. Hal ini mendapat kecaman dari teguran dari teman-temannya sendiri, dan dicap melakukan bid’ah. Namun, beliau kembali maju terus dnegan alasan ingin mempersiapkan lulusan pesantren yang siap terjun ke masyarakat. Hal itu hanya bisa terjadi jika mereka memiliki alat-alat dan ilmu pengetahun lebih luas yang bukan hanya soal agama, tapi juga di kehidupan keseharian masyarakat pada umumnya. Itu akhirnya menjadi model pesantren zaman sekarang, yakni dengan mengenalkan komputer, internet, teknologi, dan perbengkelan, selain Ilmu Fikih ataupun Ilmu Bahasa Arab.
Perubahan politik berikut pemahaman dan cara praktik Islam di Saudi Arabia memengaruhi kaum pembaru untuk setidaknya meniru dan menerapkan hal itu di kalangan umat Islam di Indonesia. Hal ini kemudian menyebabkan perselisihan antara Islam modernis dan Islam tradisionalis. Islam tradisionalis, selain bermahzab juga menjaga kuat transformasi kultural, baik lokal maupun di zaman Nabi Muhammad itu sendiri.
Inilah kemudian yang menjadi dasar lahirnya organisasi Nadlatul Ulama oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Hasyim Asy’ari memiliki peran yang sangat vital sebagai arsitek atau pencipta NU di Indonesia. Hal itu dikarenakan beliaulah yang menjadi tokoh dan menulis aturan-aturan dasar bagi organisasi NU dan pengembangannya yang dipakai sampai kini.
Selama 10 tahun pertama sejak NU didirikan, beliau disibukkan oleh urusan internal, termasuk memperluas pengaruhnya dan menarik pemimpin-pemimpin pesantren untuk bergabung dalam organisasi NU membentuk sebuah tim untuk mengadakan pendekatan dan mengajak partisipasi mereka dalam organisasi NU yang tujuannya tidak lain adalah untuk memajukan masyarakat desa, masyarakat pegunungan, dan masyarakat pesisir.
c.       Karya-Karya
Setelah K. H. Ahmad Dahlan
K. H. Hasyim Asy’ari meninggalkan warisan intelektual melalui karya-karya tulis dan pidato-pidatonya. Karya-karya beliau dikumpulkan secara baik oleh salah seorang keturunan beliau, Muhammad Isham Hadziq. Berikut ini daftar karya-karya beliau, baik itu berupa karya berbentuk kitab, tulisan di surat kabar dan majalah, maupun pidato-pidato dan fatwa-fatwa beliau, diantaranya:
1.      Halqat Al-As’ilah wa Halqat Al-Ajwibah (1930), dalam Suara Nahdhstul Ulama, no.1, t.p.
2.      Al-Mawa’izh (1936), Surabaya: Hoofbestuur.
3.      Al-Durrar Al-Muntathirah fi Al-Masail Al-Tis’a ‘Asyarah (1940).
4.      Pradjoerit Pembela Tanah Air (1943), dalam Soeara Masjoemi, 1 Desember.
5.      Menginsafkan Para Oelama (1944), dalam Soeara Masjoemi, 15 Mei.
6.      “Pidato Ketoea Besar Masjoemi, K.H. Hasjim Asj’ari” (1944), dalam Soeara Masjumi, 1 Juli.  
7.      “Ideologi Politik Islam”, Amanat Kiai Hasyim Asy’ari dalam muktamar partai politik Islam Masyumi Februari (1946), dalam harian Islam Adj-Djihad, Yogyakarta.
8.      Al-Ma’awizh Sjaich Hasjim Asj’ari (1959), terj. Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), dalam Pandji Masyarakat.
9.      Al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat an-Nadhat al-Ulama (1971), terj. K.H. Abdul Chamid, Kudus: Menara Kudus.
7. Kyai Haji Ahmad Dahlan
a.      Riwayat Hidup
Nama kecil K. H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Beliau merupakan putra keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Beliau termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa. Silsilahnya  ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana 'Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).
Dalam perjalanan hidup K.H. Ahmad Dahlan, beliau sempat menikah sebanyak lima kali. Dari istri pertama beliau yang bernama Siti Walidah yang juga sepupu beliau sendiri, beliau mendapatkan enam keturunan. Anak-anak beliau dari Siti Walidah adalah Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, dan Siti Zaharah. Istri pertama beliau, Siti Walidah, merupakan pendiri Aisyiyah dan lebih dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan. Dalam pernikahan yang kedua, beliau menikahi Nyai Abdullah janda dari H. Abdullah. Pernikahan ketiga beliau dengan adik dari Kyai Munawwir Krapyak yang bernama Nyai Rum. Dari pernikahan beliau yang keempat dengan Nyai Aisyah Cianjur adik Adjengan Penghulu, beliau dianugerahi seorang putra yang diberi nama Dandanah. Pernikahan beliau yang terakhir adalah dengan Nyai Yasin Pakualam Yogyakarta.
K.H. Ahmad Dahlan mengalami gangguan kesehatan sejak tahun 1922. Kesehatan beliau terus menurun hingga akhirnya beliau meninggal pada tanggal 23 Februari 1923 dan dimakamkan di Karangkajen, Yogyakarta, serta diberi gelar Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.
b.      Pendidikan dan Karya-Karya
Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari.
Sekembali beliau dari Mekkah pada tahun 1912, beliau mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Beliau ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Organisasi ini didirikan di kampung halamannya, Kauman, Yogyakarta. Muhammadiyah bukan organisasi politik melainkan organisasi yang bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan. Baru pada tahun 1921 Muhammadiyah diberi izin oleh pemerintah untuk mendirikan cabangnya di daerah lain. Kemudian beliau melakukan banyak usaha besar yang terarah, seperti mendirikan rumah pengobatan, rumah sakit, panti asuhan, pemeliharaan kaum miskin, sekolah, serta madrasah setelah Muhammadiyah kukuh berdiri. Sebelum beliau mendirikan Muhammadiyah, beliau pernah tercatat dalam anggota Boedi Utomo dan Sarekat Islam.
Pada tahun 1896, K.H. Ahmad Dahlan melakukan pembetulan terhadap arah kiblat pada langgar-langgar dan masjid-masjid di Yogyakarta. Pada masa itu kebanyakan tempat ibadah menghadap ke arah Timur dan banyak orang yang melakukan sholat menghadap lurus ke Barat. Beliau melakukan pembetulan tersebut dengan Ilmu Falak yang beliau kuasai. Berdasarkan Ilmu Falak tersebut, arah kiblat Pulau Jawa seharusnya condong ke Utara kira-kira 24,5 derajat. 

Ulama Haramain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar