1.
Syekh
Abdush Shamad Al-Falimbani
a.
Kelahiran
Nama lengkap Abd al-Shamad b. Abd Allah al-Jawi al-Palimbani. Lahir
tahun 1730 M di Palembang. Ayahnya adalah Syekh Abdul Wahid bin Syekh Ahmad
al-Mahdan dari Yaman. Abdus Samad al-Palimbani adalah seorang tokoh ulama
Indonesia. Menurut sumber-sumber melayu, nama lengkap Al-Palimbani adalah 'Abd
al-Shamad bin 'Abd Allah al-Jawi al-Palimbani, tetapi sumber-sumber arab
menamakannya Sayyid 'Abd al-Shamad bin 'Abd al-Rahman al-Jawi.
Al-Palimbani lahir sekitar tahun 1116H/1704M di Palembang. Ayahnya
adalah seorang ulama, yang pernah menjadi Qadhi Kesultanan Kedah, sementara
Ibunya adalah seorang putri dari negeri Palembang, yang bernama Radin Ranti.
Al-Palimbani dikenal sebagai ulama Melayu-Indonesia, yang paling
menonjol di dalam jaringan ulama abad ke-18M. Al-Palimbani banyak melewatkan
masa hidupnya, sebagai penulis dan tenaga pengajar di Haramain (Mekah-Madinah).
Beliau diperkirakan wafat pada tahun 1203H/1789M.
b.
Pendidikan
Pendidikan yang diperoleh oleh al-Palimbani berasal dari ayahnya dan
yang paling penting beliau juga memperoleh pendidikan dari kota Haramain. Bisa
dilihat dari guru-gurunya yaitu Muhammad al-Jawhuari, adalah seorang putra dari
muhandist Mesir terkemuka yaitu Ahad bin al-Hasan ‘Abdul Karim dan ‘Atha Allah
(b. Ahmad) al-Azhar al-Masri al-Makki seorang muhandist ternama.
c.
Karya
1) Zuhrat Al-Murid fi Bayan Kalimat Al-Tawhid, karya ini menggunakan bahasa melayu,
membahas tentang logika (manthiq) dan teologi ('ushul al-din).
2)
Hidayat Al-Salikin fi Suluk Maslak Al-Muttaqin.
3)
Sayr Salikin ila 'Ibadah Rabb Al-'Alamin.
4) Nashihah al-Muslim wa Tadzkirah al-Mukminin fi Fadha'il al-Jihad fi
Sabil Allah wa Karimah al-Mujahidin fi Sabil Allah, karya ini menggunkan bahasa Arab, membahas keutamaan
perang suci menurut Al-Qur'an dan Hadis.
5) Tuhfah al-Ragibtn ft Sayan Haqfqah Iman al-Mukmin wa Ma Yafsiduhu fi
Riddah al-Murtadin,
di dalam kitab ini, ia memperingatkan pembaca agar tidak tersesat oleh berbagai
paham yang menyimpang dari Islam, seperti ajaran tasawuf yang mengabaikan
syariat dan paham wujudiyah muthid yang sedang marak pada waktu itu, dll.
2.
Syekh
Muhammad Arsyad Al-Banjari
a.
Kelahiran
Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abdur
Rahman al-Banjari (atau lebih dikenal dengan nama Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari) lahir di Lok Gabang, 17 Maret 1710 – meninggal di Dalam Pagar, 3
Oktober 1812 pada umur 102 tahun atau 15 Shofar 1122 – 6 Syawwal 1227 H) adalah
ulama fiqih mazhab Syafi'i yang berasal dari kota Martapura di Tanah Banjar
(Kesultanan Banjar), Kalimantan Selatan.
b.
Pendidikan
Syekh Muhammad Arsyad mendapatkan pendidikan dasar agamanya di desanya
sendiri, dari ayahnya dan guru-guru setempat. Ketika dewasa beliau juga
menuntut ilmu di kota Haramain. Guru-guru beliau adalah al-Samani, al-Damanhuri, Sulaiman al-Kurdi, dan Atha’Allah al-Masri. Beliau juga belajar
kepada Ibrahim
al-Rais al-Zamzami, beliau mempelajari Astronomi.
c.
Karya
Kitab karya Syekh Muhammad Arsyad yang paling terkenal ialah Kitab Sabilal Muhtadin, atau
selengkapnya adalah Kitab Sabilal
Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin, yang artinya dalam terjemahan bebas
adalah "Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk untuk mendalami
urusan-urusan agama". Syekh Muhammad Arsyad telah menulis untuk keperluan
pengajaran serta pendidikan, beberapa kitab serta risalah lainnya, di antaranya
ialah:
1) Kitab Ushuluddin yang biasa disebut Kitab Sifat Duapuluh.
2) Kitab Tuhfatur Raghibin, yaitu kitab yang membahas soal-soal itikad serta perbuatan yang
sesat.
3) Kitab Nuqtatul Ajlan, yaitu kitab tentang wanita serta tertib suami-isteri.
4) Kitabul Fara-idl, hukum pembagian warisan.
Dari beberapa risalahnya dan beberapa pelajaran penting yang langsung
diajarkannya, oleh murid-muridnya kemudian dihimpun dan menjadi semacam Kitab
Hukum Syarat, yaitu tentang syarat syahadat, sembahyang, bersuci, puasa dan
yang berhubungan dengan itu disebut Kitab
Parukunan. Sedangkan mengenai bidang Tasawuf, ia juga menuliskan
pikiran-pikirannya dalam Kitab
Kanzul-Makrifah.
3.
Syekh
Ahmad Khatib Minangkabau
a. Kelahiran
Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin Abdul
Latif al-Minangkabawi, lahir di Koto Tuo - Balai Gurah, IV Angkek Candung,
Agam, Sumatera Barat, pada hari Senin 6 Dzulhijjah 1276 H (1860 M) dan wafat di
Mekkah hari Senin 8 Jumadil Awal 1334 H (1916 M).
b.
Pendidikan
Ketika masih di kampung kelahirannya, Ahmad
kecil sempat mengenyam pendidikan formal, yaitu pendidikan dasar dan berlanjut
ke Sekolah Raja atau Kweek School yang tamat tahun 1871 M.
Di samping belajar di pendidikan formal yang
dikelola Belanda itu, Ahmad kecil juga mempelajari mabadi’ (dasar-dasar) ilmu
agama dari Syaikh ‘Abdul Lathif, sang ayah. Dari sang ayah pula, Ahmad kecil
menghafal Al Quran dan berhasil menghafalkan beberapa juz.
Pada tahun 1287 H, Ahmad kecil diajak oleh
sang ayah, ‘Abdul Lathif, ke Tanah Suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji.
Setelah rangkaian ibadah haji selesai ditunaikan, ‘Abdullah kembali ke Sumatera
Barat sementara Ahmad tetap tinggal di Mekah untuk menyelesaikan hafalan Al
Qurannya dan menuntut ilmu dari para ulama-ulama Mekah terutama yang mengajar
di Masjid al-Haram.
Di antara guru-guru Syaikh Ahmad Khatib di Mekah
adalah:
1) Sayyid ‘Umar bin Muhammad bin Mahmud Syatha Al
Makki Asy Syafi’I (1259-1330 H).
2) Sayyid ‘Utsman bin Muhammad Syatha Al Makki
Asy Syafi’i (1263-1295 H).
3) Sayyid Bakri bin Muhammad Zainul ‘Abidin
Syatha Ad Dimyathi Al Makki Asy Syafi’i (1266-1310 H) –penulis I’anatuth
Thalibin.
Dalam Ensiklopedi Ulama Nusantara dan Cahaya dan Perajut Persatuan
mencatat beberapa ulama lain sebagai guru Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah,
yaitu Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (wafat 1304) –mufti Madzhab Syafi’i di
mekkah; Yahya Al Qalyubi; dan Muhammad Shalih Al Kurdi.
Mengenai bagaimana semangat Syaikhul Ahmad Khatib dalam thalabul
‘ilmi, menurut penuturan seorang ulama yang sezaman dengan beliau, yaitu Syaikh
‘Umar ‘Abdul Jabbar rahimahullah dalam Siyar wa Tarajim, “…Beliau adalah santri
teladan dalam semangat, kesungguhan, dan ketekunan dalam menuntut ilmu serta
bermudzakarah malam dan siang dalam pelbagai disiplin ilmu. Karena semangat dan
ketekunannya dalam muthala’ah dalam ilmu pasti seperti mathematic (ilmu
hitung), aljabar, perbandingan, tehnik (handasah), haiat, pembagian waris, ilmu
miqat, dan zij, beliau dapat menulis buku dalam disiplin ilmu-ilmu itu tanpa
mempelajarinya dari guru (baca: otodidak).”
Ahmad juga gemar mempelajari ilmu-ilmu keduniaan yang mendukung ilmu
diennya seperti ilmu pasti untuk membantu menghitung waris dan juga bahasa
Inggris sampai betul-betul kokoh.
c.
Karyanya
Karya-karya tulis Syaikhul Ahmad Khatib
Rahimahullah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu karya-karya yang berbahasa
Arab dan karya-karya yang berbahasa Melayu dengan tulisan Arab. Kebanyakan
karya-karya itu mengangkat tema-tema kekinian terutama menjelaskan kemurnian
Islam dan merobohkan kekeliruan tarekat, bid’ah, takhayul, khurafat, dan
adat-adat yang bersebrangan dengan Al Quran & Sunnah. Karya-karya Syaikhul
Ahmad Khatib Rahimahullah dalam bahasa Arab:
1) Hasyiyah An Nafahat ‘ala Syarhil Waraqat lil Mahalli.
2) Al Jawahirun Naqiyyah fil A’malil Jaibiyyah.
3) Ad Da’il Masmu’ ‘ala Man Yuwarritsul Ikhwah wa Auladil Akhwan Ma’a
Wujudil Ushul wal Furu’.
4) Raudhatul Hussab.
5) Mu’inul Jaiz fi Tahqiq Ma’nal Jaiz.
6) As Suyuf wal Khanajir ‘ala Riqab Man Yad’u lil Kafir, dll.
4.
Syekh
Muhammad Nawawi Bantani
a.
Kelahiran
Tahun 1230-1314 H/1815-1897 M lahir dengan
nama Abu Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi. Ulama besar ini
hidup dalam tradisi keagamaan yang sangat kuat. Ulama yang lahir di Kampung
Tanara, sebuah desa kecil di kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Propinsi
Banten (Sekarang di Kampung Pesisir, desa Pedaleman Kecamatan Tanara depan Mesjid
Jami’ Syaikh Nawawi Bantani) ini bernasab kepada keturunan Maulana Hasanuddin
Putra Sunan Gunung Jati, Cirebon. Keturunan ke-12 dari Sultan Banten. Nasab
beliau melalui jalur ini sampai kepada Baginda Nabi Muhammad saw. Melalui
keturunan Maulana Hasanuddin yakni Pangeran Suniararas, yang makamnya hanya
berjarak 500 meter dari bekas kediaman beliau di Tanara, nasab Ahlul Bait
sampai ke Syaikh Nawawi. Ayah beliau seorang Ulama Banten, ‘Umar bin ‘Arabi,
ibunya bernama Zubaedah.
b.
Pendidikan
Semenjak kecil beliau memang terkenal cerdas.
Otaknya dengan mudah menyerap pelajaran yang telah diberikan ayahnya sejak umur
5 tahun. Pertanyaan-pertanyaan kritisnya sering membuat ayahnya bingung.
Melihat potensi yang begitu besar pada putranya, pada usia 8 tahun sang ayah
mengirimkannya ke berbagai pesantren di Jawa. Beliau mula-mula mendapat
bimbingan langsung dari ayahnya, kemudian berguru kapada Kyai Sahal, Banten;
setelah itu mengaji kepada Kyai Yusuf, Purwakarta.
Di usia beliau yang belum lagi mencapai 15
tahun, Syaikh Nawawi telah mengajar banyak orang. Sampai kemudian karena
karamahnya yang telah mengkilap sebelia itu, beliau mencari tempat di pinggir
pantai agar lebih leluasa mengajar murid-muridnya yang kian hari bertambah
banyak. Pada usia 15 tahun beliau menunaikan haji dan berguru kepada sejumlah
ulama terkenal di Mekah, seperti Syaikh Khatib al-Sambasi, Abdul Ghani Bima,
Yusuf Sumbulaweni, Abdul Hamid Daghestani, Syaikh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh
Ahmad Dimyati, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Muhammad Khatib Hambali, dan
Syaikh Junaid Al-Betawi. Tapi guru yang paling berpengaruh adalah Syaikh Sayyid
Ahmad Nahrawi, Syaikh Junaid Al-Betawi dan Syaikh Ahmad Dimyati, ulama
terkemuka di Mekah. Lewat ketiga Syaikh inilah karakter beliau terbentuk.
Selain itu juga ada dua ulama lain yang berperan besar mengubah alam
pikirannya, yaitu Syaikh Muhammad Khatib dan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, ulama
besar di Madinah.
c.
Karyanya
Kepakaran beliau tidak diragukan lagi. Ulama
asal Mesir, Syaikh 'Umar 'Abdul Jabbâr dalam kitabnya "al-Durûs min Mâdhi
al-Ta’lîm wa Hadlirih bi al-Masjidil al-Harâm” (beberapa kajian masa lalu dan
masa kini tentang Pendidikan Masa kini di Masjidil Haram) menulis bahwa Syaikh
Nawawi sangat produktif menulis hingga karyanya mencapai seratus judul lebih,
meliputi berbagai disiplin ilmu. Banyak pula karyanya yang berupa syarah atau
komentar terhadap kitab-kitab klasik. Sebagian dari karya-karya Syaikh Nawawi
di antaranya adalah sebagai berikut:
1) al-Tsamâr al-Yâni’ah syarah al-Riyâdl al-Badî’ah.
2) al-‘Aqd al-Tsamîn syarah Fath al-Mubîn.
3) Sullam al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh.
4) Baĥjah al-Wasâil syarah al-Risâlah al-Jâmi’ah bayn al-Usûl wa al-Fiqh
wa al-Tasawwuf.
5) al-Tausyîh/ Quwt al-Habîb al-Gharîb syarah Fath al-Qarîb al-mujib, dll.
5. Walisongo(Di Jawa)
6. Kyai Haji Hasyim Asyari
6. Kyai Haji Hasyim Asyari
a.
Riwayat
Hidup
K.
H. Hasyim Asy’ari lahir pada 24 Dzulqodah 1287H atau 14 Februari 1871M di
Gedang. K.H.M Hasyim Asy’ari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Dari
nasabnya K.H. Hasyim merupakan campuran dua darah atau trah, satunya darah
biru, ningrat, priyayi, keraton, dan satunya darah putih, kalangan tokoh agama,
kiai, santri.
Silsilah
keturunannya, yaitu Brawijaya VI/Kartawijaya/Damarwulan, Lembu
Peteng/Brrawijaya VII, Joko Tingkir, Pangeran Banawa, Muhammad, Ahmad, Abdul
Jahar, Kyai Sichah, Kyai Usman (menantu Kyai Sichah), Halimah/Muhammad Asy’ari,
Kyai Hasyim Asy’ari.
Dalam
riwayat hidupnya bahwa Hasyim Asy’ari pernah kawin tujuh kali, di antaranya
dengan Khadijah, putri Kyai Ya’qub Siwalan Panji, Nafisah, putri Kyai Ramli
Kediri, Nyai Priangan di Mekah, Masrurah, saudara Kyai Ilyas Kapurejo Kediri,
Nafiqah, putri Kyai Ilyas Sewulan Madiun.
Dari
perkawinannya dengan Nyai Nafiqah, putri wedana dari Madiun, Hasyim memperoleh
10 anak, yaitu Hannah, Khairiyah, Aisyah, Ummu Abdul Haq, Abdul Wahid Hasyim,
Abdul Hafiz, Abdul Karim Hasyim, Ubaidillah, Masrurah, dan Yusuf Hasyim.
Sedangkan pada perkawinannya dengan Nyai Masrurah, Hasyim mempunyai empat anak,
yaitu Abdul Kadir, Fatimah, Kahdijah, dan Ya’qub. Sekitar pukul 03.45 dini hari
pada 26 Juli 1947 M/7 Ramadhan 1366 H, K.H. Hasyim Asy’ari berpulang ke
rahmatullah.
b.
Pendidikan
dan Pondok Pesantren Tebuireng
K.H.
Hasyim Asy’ari terkenal memiliki keinginan yang kuat untuk mendapatkan ilmu
seluas-luasnya dan sebanyak-banyaknya. Sejak kecil sampai usia 14 tahun, putra
ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan
kakeknya, Kiai Usman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya
belajar lebih giat dan rajin. Beliau termasuk anak yang mudah menyerap dan
menghafal ilmu yang diberikan. Keistimewaan beliau dalam menyerap dan menghafal
ilmu, menjadikannya diberi kesempatan oleh ayahnya pada usia masih remaja,
13-14 tahun, untuk membantu mengajar di pesantren.
Ketidakpuasan
dan dahaga yang sangat terhadap ilmu, membuat beliau berkeinginan untuk mencari
sumber pengetahuan lain, di pesantren ayahnya. Oleh sebab itu, semenjak usia 15
tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain, mulai menjadi santri
di Pesantern Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), sampai
Pesantren Trenggilis (Semarang). Belum puas dengan berbagai ilmu yang
dikecapnya, ia melanjutkan ke Pesantren Kademengan, Bangkalan di bawah asuhan
Kholil, Hasyim pindah lagi ke Pesantren Siwalan, Sidoarjo yang diasuh oleh
Kiain Ya’qub. Kiai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim
dalam ilmu agama. Di sinilah, sepertinya, Hasyim merasa benar-benar menemukan
sumber pengetahuan Islam yang diinginkannya.
Di
Pesantren Siwalan beliau mondok cukup lama, yaitu lima tahun. Rupanya Kiai
Ya’qub kagum kepada pemuda yang cerdas dan alim itu, sehingga K.H. Hasyim
Asy’ari bukan saja mendapatkan ilmu karena kerajinan dan kecerdasannya dalam
menuntut ilmu di pondoknya, akan tetapi juga dijadikan menantu oleh Kiai
Ya’qub.
K.H.
Hasyim Asy’ari juga mendapatkan hadiah dari mertuanya berupa naik haji bersama
istrinya di Mekah. Di sini pulalah beliau juga belajar kembali. Beliau belajar
ilmu hadits pada lama kondang Syekh Ahmad Khatib Minangkabau.
Pada
1893 beliau berangkat haji untuk kedua kalinya. Kali ini bersama adiknya, Anis.
Sejak saat itu beliau menetap di Mekah dan belajar kembali. Kali ini guru
beliau adalah Syekh Mahfud Al-Tarmasy, putra Kiai Abdullah, pemimpin Pesantren
Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Dari Kiai Mahfud inilah beliau mendapat ijazah
untuk mengajar hadits Shahih Al-Bukhari.
Selain
berguru pada kedua guru tersebut, K.H. Hasyim Asy’ari juga berguru pada Syekh
Ahmad Amin Al-Attar, Sayid Sultan b. Hasyim, Sayid Ahmad Zawawy, Syekh Ibrahim
Arab, Syekh Said Yamani, Sayid Husein Al-Hasby, Sayid Bakar Syatha, Syekh
Rahmatullah, Sayid Alawi b. Ahmad Al-Saqqaf, Sayid Abbas Maliky, Sayid Abdullah
Al-Zawawy, Syekh Shaleh Bafadol, dan Syekh Sulthan Hasyim Daghastani.
Kembalinya
ke Indonesia beliau mendirikan Pondok Pesantren di Tebuireng. Ketika
menyampaikan maksudnya mendirikan pondok pesantren yang lokasinya di Tebuireng
kepada teman-temannya, kebanyakan tidak menyetujui maksud beliau tersebut,
bahkan tidak sedikit yang mencibir dan menertawakannya.
Tebuireng
bukan hanya jauh dari kota Jombang, tetapi merupakan sebuah daerah yang sangat
tidak aman. Masyarakat disana belum beragama dan adat istiadatnya sangat
bertentangan dengan peri kemanusiaan, seperti merampok, berjudi, dan berzina.
Kesimpulannya, menurut pendapat mereka, mendirikan pesantren di sana adalah
perbuatan yang sia-sia dan membuang-buang waktu saja. Justru hal itu semakin
mendorong semangatnya untuk segera mendirikan pesantren. Beliau berprinsip
bahwa menyiarkan agama itu artinya memperbaiki moral masyarakat yang belum
baik. Jika moral masyarakat sudah baik, apalagi yang meski diperbaiki.
K.H.
Hasyim Asy’ari dengan pesantrennya bukan hanya mendidik masyarakat untuk
memberantas kebodohan, tapi beliau juga mengubah masyarakat dari jurang
kegelapan menuju sebuah mesyarakat yang sehat dan produktif, serta menjadi
individu yang siap menjadi pemimpin dalam segala bidang.
Selain
itu, beliau juga memperjuangkan pembaruan sistem pendidikan di pesantrennya
dengan mengenalkan ilmu-ilmu sekuler. Hal ini mendapat kecaman dari teguran
dari teman-temannya sendiri, dan dicap melakukan bid’ah. Namun, beliau kembali
maju terus dnegan alasan ingin mempersiapkan lulusan pesantren yang siap terjun
ke masyarakat. Hal itu hanya bisa terjadi jika mereka memiliki alat-alat dan
ilmu pengetahun lebih luas yang bukan hanya soal agama, tapi juga di kehidupan
keseharian masyarakat pada umumnya. Itu akhirnya menjadi model pesantren zaman
sekarang, yakni dengan mengenalkan komputer, internet, teknologi, dan
perbengkelan, selain Ilmu Fikih ataupun Ilmu Bahasa Arab.
Perubahan
politik berikut pemahaman dan cara praktik Islam di Saudi Arabia memengaruhi
kaum pembaru untuk setidaknya meniru dan menerapkan hal itu di kalangan umat
Islam di Indonesia. Hal ini kemudian menyebabkan perselisihan antara Islam
modernis dan Islam tradisionalis. Islam tradisionalis, selain bermahzab juga
menjaga kuat transformasi kultural, baik lokal maupun di zaman Nabi Muhammad
itu sendiri.
Inilah
kemudian yang menjadi dasar lahirnya organisasi Nadlatul Ulama oleh K.H. Hasyim
Asy’ari. Hasyim Asy’ari memiliki peran yang sangat vital sebagai arsitek atau
pencipta NU di Indonesia. Hal itu dikarenakan beliaulah yang menjadi tokoh dan
menulis aturan-aturan dasar bagi organisasi NU dan pengembangannya yang dipakai
sampai kini.
Selama
10 tahun pertama sejak NU didirikan, beliau disibukkan oleh urusan internal,
termasuk memperluas pengaruhnya dan menarik pemimpin-pemimpin pesantren untuk
bergabung dalam organisasi NU membentuk sebuah tim untuk mengadakan pendekatan
dan mengajak partisipasi mereka dalam organisasi NU yang tujuannya tidak lain
adalah untuk memajukan masyarakat desa, masyarakat pegunungan, dan masyarakat
pesisir.
c.
Karya-Karya
Setelah K. H. Ahmad
Dahlan
K. H. Hasyim Asy’ari
meninggalkan warisan intelektual melalui karya-karya tulis dan
pidato-pidatonya. Karya-karya beliau dikumpulkan secara baik oleh salah seorang
keturunan beliau, Muhammad Isham Hadziq. Berikut ini daftar karya-karya beliau,
baik itu berupa karya berbentuk kitab, tulisan di surat kabar dan majalah, maupun
pidato-pidato dan fatwa-fatwa beliau, diantaranya:
1. Halqat Al-As’ilah wa
Halqat Al-Ajwibah (1930), dalam Suara Nahdhstul Ulama, no.1, t.p.
2. Al-Mawa’izh
(1936), Surabaya: Hoofbestuur.
3. Al-Durrar
Al-Muntathirah fi Al-Masail Al-Tis’a ‘Asyarah
(1940).
4. Pradjoerit Pembela
Tanah Air (1943), dalam Soeara Masjoemi, 1 Desember.
5. Menginsafkan Para
Oelama (1944), dalam Soeara Masjoemi, 15 Mei.
6. “Pidato
Ketoea Besar Masjoemi, K.H. Hasjim Asj’ari” (1944), dalam Soeara Masjumi, 1 Juli.
7. “Ideologi
Politik Islam”, Amanat Kiai Hasyim Asy’ari dalam muktamar partai politik Islam
Masyumi Februari (1946), dalam harian Islam Adj-Djihad,
Yogyakarta.
8. Al-Ma’awizh Sjaich
Hasjim Asj’ari (1959), terj. Hamka (Haji Abdul
Malik Karim Amrullah), dalam Pandji
Masyarakat.
9. Al-Qanun al-Asasi li
Jam’iyyat an-Nadhat al-Ulama (1971), terj. K.H.
Abdul Chamid, Kudus: Menara Kudus.
7. Kyai
Haji Ahmad Dahlan
a.
Riwayat
Hidup
Nama
kecil K. H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad
Darwisy. Beliau merupakan putra keempat dari tujuh orang bersaudara yang
keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Beliau termasuk
keturunan yang kedua belas dari Maulana
Malik Ibrahim, salah seorang Walisongo,
yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa. Silsilahnya ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana 'Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng
Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo,
Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad
Darwisy (Ahmad Dahlan).
Dalam perjalanan hidup K.H. Ahmad Dahlan, beliau
sempat menikah sebanyak lima kali. Dari istri pertama beliau yang bernama Siti
Walidah yang juga sepupu beliau sendiri, beliau mendapatkan enam keturunan.
Anak-anak beliau dari Siti Walidah adalah Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro,
Irfan Dahlan, Siti Aisyah, dan Siti Zaharah. Istri pertama beliau, Siti
Walidah, merupakan pendiri Aisyiyah dan lebih dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan.
Dalam pernikahan yang kedua, beliau menikahi Nyai Abdullah janda dari H.
Abdullah. Pernikahan ketiga beliau dengan adik dari Kyai Munawwir Krapyak yang
bernama Nyai Rum. Dari pernikahan beliau yang keempat dengan Nyai Aisyah
Cianjur adik Adjengan Penghulu, beliau dianugerahi seorang putra yang diberi
nama Dandanah. Pernikahan beliau yang terakhir adalah dengan Nyai Yasin
Pakualam Yogyakarta.
K.H. Ahmad Dahlan mengalami gangguan kesehatan sejak
tahun 1922. Kesehatan beliau terus menurun hingga akhirnya beliau meninggal
pada tanggal 23 Februari 1923 dan dimakamkan di Karangkajen, Yogyakarta, serta
diberi gelar Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.
b.
Pendidikan
dan Karya-Karya
Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji
dan tinggal di Mekah
selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan
pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam. Ketika pulang kembali ke kampungnya
tahun 1888,
beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903,
beliau bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini,
beliau sempat berguru kepada Syeh
Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU,
KH. Hasyim Asyari.
Sekembali beliau dari Mekkah pada tahun 1912, beliau
mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan
cita-cita pembaruan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan
suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam.
Beliau ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan
al-Qur'an
dan al-Hadits. Organisasi
ini didirikan di kampung halamannya, Kauman, Yogyakarta. Muhammadiyah bukan
organisasi politik melainkan organisasi yang bersifat sosial dan bergerak di
bidang pendidikan. Baru pada tahun 1921 Muhammadiyah diberi izin oleh
pemerintah untuk mendirikan cabangnya di daerah lain. Kemudian beliau melakukan
banyak usaha besar yang terarah, seperti mendirikan rumah pengobatan, rumah
sakit, panti asuhan, pemeliharaan kaum miskin, sekolah, serta madrasah setelah
Muhammadiyah kukuh berdiri. Sebelum beliau mendirikan Muhammadiyah, beliau
pernah tercatat dalam anggota Boedi Utomo dan Sarekat Islam.
Pada tahun 1896, K.H. Ahmad Dahlan melakukan
pembetulan terhadap arah kiblat pada langgar-langgar dan masjid-masjid di
Yogyakarta. Pada masa itu kebanyakan tempat ibadah menghadap ke arah Timur dan
banyak orang yang melakukan sholat menghadap lurus ke Barat. Beliau melakukan
pembetulan tersebut dengan Ilmu Falak yang beliau kuasai. Berdasarkan Ilmu
Falak tersebut, arah kiblat Pulau Jawa seharusnya condong ke Utara kira-kira
24,5 derajat.
Ulama Haramain
Ulama Haramain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar